Jember, Kabarejember.com
Tersebutlah
sebuah desa yang subur, yakni penduduknya banyak yang memilih mata pencaharian
sebagai petani, petani tembakau. Seiring tumbuhnya si daun emas itu, terkembang
pula sejuta harapan akan keuntungan. Tersebutlah Fauzi yang sarjana anak Haji
Imam ingin segera menikah, Yoyon si buruh tani berniat mengobati istrinya,
sementara Pak Mul si tengkulak ingin membayar hutang-hutangnya.
Namun, ternyata
jauh panggang dari api, janji keuntungan yang bakal diraih selepas panen malah jadi
buntung. Panen tembakau tak terserap oleh gudang dan pabrik, akibatnya Fauzi
bertengkar dengan ayahnya. Nasib Yoyon dan Pak Mul malah lebih tragis lagi,
Yoyon memilih mengakhiri hidup sang istri yang tak kunjung sembuh, sementara
Pak Mul jadi gila.
Sisi lain
dari dunia tembakau ini disajikan apik dalam sebuah film berjudul “Bhàko, The
Golden Leaf” karya tiga mahasiswa Program Studi Televisi dan Film (PSTF)
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember yang tayang perdana Rabu malam (10/7)
di bioskop Kota Cinema Mall Jember.
Ketiganya adalah Alif Septian sebagai
sutradara, Daris Zulfikar sebagai penata kamera dan M. Ariyanto selaku
penyunting gambar. Istimewanya, penayangan perdana film Bhàko dihadiri oleh
Moh. Hasan, Rektor Universitas Jember bersama jajaran dekanat Fakultas Ilmu
Budaya dan PSTF. Hadir pula mahasiswa Kampus Tegalboto, pegiat seni dan film di
Jember, kru pembuatan film dan masyarakat umum.
Dalam
diskusi selepas pemutaran film, sang sutradara Alif Septian menjelaskan mengapa
dirinya memilih tema tembakau. “Saya anak petani tembakau, jadi tahu benar
bagaimana perjuangan seorang petani tembakau. Bahkan di tahun 2015 lalu keluarga
kami terpuruk hingga harus menjual barang-barang serta perabotan rumah
gara-gara abu Gunung Raung merusak tanaman tembakau di lahan kami. Melalui film
Bhàko ini saya ingin menyampaikan kepada khalayak luas mengenai sisi lain dari
usaha tembakau yang mungkin belum banyak diketahui orang. Ada yang rumah tangganya
retak, jadi gila bahkan bunuh diri, walaupun tentu saja ada juga yang berjaya,”
ujar mahasiswa asli Kalisat, Jember ini.
Menanggapi
akhir kisah yang tragis, Alif dan dua koleganya sepakat menyerahkan penilaian
kepada penonton karena tak ingin filmnya terkesan menggurui. “Memang seperti
itu faktanya, hingga sekarang saya merasakan tidak ada perubahan yang berarti
terhadap kesejahteraan petani tembakau, selalu saja yang kalah adalah petani,”
jelas Alif yang diiyakan dua koleganya.
Bentuk-bentuk ketidakadilan yang
diderita oleh petani tembakau digambarkan ketiganya dengan adegan dimana saat
tengkulak menilai hasil panen tembakau dengan semena-mena, alat timbang yang
tidak sesuai standar dan penyitaan rumah Pak Mul gara-gara tak mampu membayar
hutang di bank.
Uniknya lagi
bahasa yang dipakai dalam film Bhàko adalah Bahasa Madura sesuai dengan lokasi
film dibuat untuk lebih mendekatkan penonton dengan kenyataan yang ada. Terkait
penggunaan Bahasa Madura ini beberapa penonton yang hadir mengkritisinya. Seperti
yang disampaikan oleh Yeyen, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember.
“Saya amati tokoh Haji Imam menggunakan Bahasa Madura dialek Jember, sementara
sang anak Fauzi menggunakan Bahasa Madura dialek Situbondo atau Bondowoso,”
tanya Yeyen kepada Alif dan kawan-kawan.
Menjawab pertanyaan ini, Alif mengakui
hal ini terjadi karena pemeran Haji Imam asli Jember, sementara pemeran Fauzi
berasal dari Situbondo.
Pengambilan
gambar film Bhàko sendiri dilakukan selama delapan hari di bulan Oktober 2018
lalu dengan mengambil lokasi di daerah Kalisat, Sukowono dan Sumberjambe.
Diteruskan dengan proses editing dan penyelarasan akhir hingga siap tayang.
Para pemainnya adalah para petani tembakau, sesama mahasiswa PSTF dan pegiat
teater di Jember. Untuk diketahui film Bhàko adalah tugas akhir bagi Alif,
Daris dan Ariyanto, setelah pemutaran film mereka bakal mempertahankan karyanya
di hadapan dosen penguji.
Kisah unik
kedua terkait penggunaan Bahasa Madura diutarakan oleh sang penyunting gambar,
M. Ariyanto yang asli Depok. “Saya tidak mengerti Bahasa Madura, sehingga
setiap kali proses editing saya meminta Alif dan Daris untuk menemani, karena takut
salah. Tapi gara-gara film ini saya sedikit sedikit jadi mengerti Bahasa
Madura,” urai M. Ariyanto sambil tergelak.
Menanggapi hal ini, Prof. M. Sofyan,
Dekan Fakultas Ilmu Budaya menyarankan agar dalam membuat film perlu riset
budaya yang kuat agar tidak menimbulkan salah paham. “Saya lihat ada beberapa
terjemahan dari Bahasa Madura ke Bahasa Indonesia yang kurang pas, tapi secara
keseluruhan saya bangga dengan karya anak-anak ini,” tutur pria asli Pulau Madura
ini. (mia/iza/iim/hms)
